A. PENGERTIAN FIQH 
Fiqh secara etimologi adalah pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan atau perbuatan. Seperti firman Allah, 
 فمالهؤلاءالقوم يكادون يفقهون حديثًا 

“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafiq) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun.” (QS An-Nisa:78)

dan sabda Rasulullah SAW
 من يردالله به خيرًايفقِّهْه في الدين

“Barang siapa dikehendaki Allah sebagai orang baik, Allah akan memahamkannya dalam persoalan agama”.

Sedangkan Fiqh secara terminologi adalah pengetahuan tentang hukuk-hukum syara’ yang mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (mendetail). Pembahasan ilmu fiqh ada dua, yaitu : 
1) Pengetahuan tentang hukum syara’ (wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh) mengenai perbuatan manusia yang praktis.
2) Dalil-dalil yang mendetail pada setiap permasalahan. 

Ushul merupakan bentuk jama’ dari kata ashl yang memiliki banyak arti, di antaranya sebagai berikut: 
1) dalil, 
2) kaidah kulliyah/komprehensif, 
3) lebih diunggulkan, 
4) salah satu rukun Qiyas, dan 
5) keyakinan. 

Ushul secara etimologi adalah dasar yang di atasnya dibangun sesuatu sedangkan secara terminolgi adalah dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh. Sedangkan, Ushul Fiqh adalah mengetahui dalil-dalil fiqh secara global, cara penetapan, dan hal ihwal orang yang menetapkan hukum-hukum berdasarkan dalil-dalilnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa fiqh merupakan sarana/alat untuk menggali hukum sedangkan ushul adalah cara/metode penggalian hukum. 

B. OBYEK PEMBAHASAN USHUL FIQH 
Ushul fiqh memiliki empat obyek pembahasan, yaitu: 
1. Hukum-hukum syara’ dan yang berkaitan dengannya (al-hakim dan mahkum fih/obyek hukum/perbuatak orang mukallaf, dan mahkum ‘alaih/subyek hukum/orang mukallaf); 
2. Sumber-sumber hukum syara’ dan dalilnya; 
3. Metode penggalian hukum dari sumber dan dalilnya; 
4. Ijtihad. 

C. MANFAAT MEMPELAJARI USHUL FIQH 
1. Memungkinkan untuk mengetahui dasar-dasar para mujtahid/orang yang berijtihad masa lalu dalam membentuk pendapat fiqhnya. 
2. Memperoleh kemampuan memahami ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an dan hadits kemudian mengistinbath/menggali hukum dari kedua sumber tersebut. 
3. Dengan mendalami Ushul Fiqh, seseorang akan mampu secara benar dan lebih baik melakukan studi komparatif sebab ushul Fiqh merupakan alat untuk melakukan perbandingan madzhab. 

D. HUKUM SYARA’ 
Hukum adalah menetapkan sesuatu pada sesuatu sedangkan syara’ adalah hal-hal yang ditetapkan Allah untuk hamba-hamba-Nya. Hukum syara’ adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha’ (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan), atau wadh’i (sebab akibat). Hukum syara’ dibagi dua, yaitu: 

1. Hukum taklifi (tuntutan [melakukan atau meninggalkan] dan pilihan). 
Hukum tuntuan melakukan ada yang bersifat lazim /keharusan (wajib) dan ada yang bersifat tidak lazim (Sunnah) sedangkan tuntutan meninggalkan ada yang lazim (haram) dan ada yang tidak lazim (makruh) sedangkan hukum yang berdasarkan pilihan antara melakukan dan meninggalkan adalah mubah. 

2. Hukum wadh’i (kausalitas). 
Hukum wadh’i terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: sebab, syarat, dan mani’/penghalang.


WAJIB 
Wajib adalah perintah yang harus dikerjakan yang jika ditinggalkan berdosa. Wajib ini dibagi menjadi empat: 1) Ditinjau dari waktu dan masa pelaksanaannya, hukum wajib dibagi dua, yaitu: muthlak (tidak terikat waktu) seperti mengqadha’ puasa dan Muqayyad (terikat dengan waktu). Muqayyad ini dibagi dua, yaitu: muwassa’ (waktu yang disediakan lebid luas daripada pelaksanaannya) seperti shalat dan mudhayyaq (yang tersedia sama dengan pelaksanaannya) seperti puasa. 

2) Ditinjau dari tertentunya tuntutan dibagi dua, yaitu: mu’ayyan (kewajiban yang hanya mempunyai satu tuntutan) seperti membayar hutang atau memenuhi akad dan mukhayyar (kewajiban yang mempunyai dua atau tiga alternatif) seperti pembebasan tawanan perang atau menerima tebusan mereka). 

3) Ditinjau dari kadar/ukurannya dibagi dua, yaitu: muhaddad (terbatas) seperti pembagian harta warisan dan ghairu muhaddad (tidak terbatas) seperti ukuran waktu ruku’ dan sujud dalam shalat. 

4) Ditinjau dari segi pelaksanaannya, wajib dibagi dua, yaitu fardhu ‘ain/wajib ‘aini (kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap orang mukallaf sehingga jika ia meninggngal sebelum mengerjakannya, ia berdosa dan berhak disiksa) dan fardhu kifayah/wajib kafa’i (kewajiban yang hanya menuntut terwujudnya suatu pekerjaan dari sekelompok masyarakat. Sehingga jika pekerjaan tersebut telah dikerjakan oleh sebagian masyarakat, bebaslah yang lain dari kewajiban itu tanp menanggung dosa.

Ulama Ushul Fiqh membagi wajib ‘aini menjadi tiga bagian: 
1. Kewajiban yang berhubungan dengan harta seperti zakat, mengembalikan titipan. Kewajiban ini bisa digantikan oleh orang lain. 
2. Kewajiban dalam bentuk ibadah murni seperti shalat dan puasa. Kewajiban ini tidak bisa digantikan oleh orang lain selama masih hidup. 
3. Kewajiban ibadah fisik dan harta seperti haji. Kewajiban ini menurut mayoritas ulama bisa digantikan oleh orang lain dengan syarat ada udzur syar’i seperti sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya. 

MANDUB/SUNNAH 
Mandub adalah suatu hukum yang jika dilakukan mendapatkan pahala tapi jika ditinggalkan tidak berdosa. Hukum sunnah ini dibagi menjadi tiga bagian: 

1. Sunnah Muakkadah 
Sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinu, tetapi beliau menjelasakan bahwa hal tersebut bukan fardhu/wajib yang harus dikerjakan seperti shalat witir. 

2. Sunnah Ghairu Muakkadah
Sunnah yang dikerjakan Rasulullah SAW tidak secara kontinyu seperti shalat empat rakaat sebelum dhuhur.

3. Sunnah Zaidah/Tambahan
Adat kebiasan Rasulullah SAW yang tidak ada hubungannya dengan tugas tabligh (penyampaian ajaran) dari Allah SWT atau penjelasan terhadap hukum syara’ seperti cara berpakaian, mencukur jenggot, dan sebagainya. 

HARAM 
Haram adalah larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik ditetapkan dengan dalil yang qath’i (pasti) atau dzanni (praduga). Hukum haram ini dibagi menjadi dua bagian: 

1. Haram li dzatihi/karena unsurnya
Perbuatan yang diharamkan oleh Allah karena bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan itu sendiri seperti minum khamr, berzina, dan sebagainya. 

2. Haram li Ghairi Dzatihi/perbuatan yang diharamkan oleh syara’ dimana larangan tersebut bukan terletak pada perbuatannya tersebut, melainkan perbuatan tersebut dapat ditimbulkan haram li dzatihi seperti melihat aurat karena dapat menimbulkan perbuatan zina. 

MAKRUH 
Menurut mayoritas ulama, makruh adalah suatu larangan syara’ terhadap suatu perbuatan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat pasti (ghairu jazim) lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan atas haramnya perbuatan tersebut. Hukum makruh ini terbagi menjadi tiga: 

1. Makruh tahrim: larangan yang pasti yang didasarkan pada dalill dzanni (praduga) yang masih mengandung keraguan seperti memakai sutera bagi laki-laki. 

2. Makruh tahzih: suatu hukum yang jika dilakukan tidak mendapat dosa tapi jika ditinggalkan mendapat pahala. Makruh tanzih ini merupakan kebalikan dari hukum mandub. 

3. Tarkul aula/meninggalkan yang lebih baik: meninggalkan sesuatu yang selayaknya dilakukan sedangkan ia mempunyai kemampuan melakukannya. 


MUBAH 
Mubah adalah suatu hukum yang dimana Allah memberikan kebebasan kepada orang mukallaf untuk memilih antara mengrjakan atau meninggalkan suatu perbuatan. Menurut Abu Ishaq as-Syathiby dalam al-Muwafaqat mengenai hukum mubah adalah sebagai berikut: 

1. Mubah yang berfungsi mengantarkan seseorang sampai kepada suatu hal wajib yang dibebankan kepadanya. Mubah seperti ini hanya dianggap mubah dalam hal memilih makanan halal yang akan dimakan. Akan tetapi, seseorang tidak diberi kebebbasan untuk makan atau tidak karena meninggalkan sama sekali hal ini akan membahayakan dirinya. 

2. Sesuatu dianggap mubah jika dilakukan sekali-kali, tetapi haram jika dilakukan setiap waktu seperti bermain, bergurau, dan sebagainya. 

3. Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana mencapai sesuatu yang mubah juga seperti membeli perabot rumah tangga untuk kesenangan. 


RUKHSHAH DAN AZIMAH 
Rukhshah adalah suatu hukum yang dikerjakan lantaran ada suatu sebab yang memperbolehkan untuk meninggalkan hukum asli. Sedangkan ‘azimah adalah hukum yang mula-mula harus dikerjakan lantaran tidak ada sesuatu yang menghalang-halanginya. Pada umumnya rukhshah adalah berpindah hukum dari keharusan menjadi boleh untuk dikerjakan, bahkan terkadang wajib yang berarti gugurlah hukum yang asali. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan adanya rukhshah banyak sekali, di antaranya: 

1. Dharurat, seperti orang yang dalam keadaan sangat lapar dan dikhawatirkan mengakibatkan kematian sedangkan makanan yang ada hanya bangkai maka ia iperbolehkan dan bahkan wajib memakannya walaupun hukum aslinya adalah haram. 

2. Untuk menghilangkan kesempitan dan masyaqqat/keberatan seperti melihat aurat perempuan bagi dokter untuk memerikasanya, tetapi harus ada mahrumnya. 

E. AL-HAKIM/AS-SYARI’ 
Al-Hakim/as-Syari’ hanyalah Allah Subhanallah Wa Ta’ala seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an: 

1. (إن الحكم إلالله (الأنعام 57
“... menetapkan (hukum itu) hanya hak Allah. ...” 

2. وان احكم بينكم بما أنزل الله (المائدة:(49 
“dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, ...” 

3. ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون (المائدة : 47) 
“... Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang-orang fasik.” 
4. وما ينطق عن الهوى أن هوإلاوحي يوحى (النجم : 3-4) 
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” 


F. HUKUM SYARA’ 
Komponen-komponen hukum syara’: 
1. Pembagian hukum syara’: 
a. Hukum taklifi. 
b. Hukum wadh’i 

2. Sumber-sumber hukum syara’: 
1) Muttafaq ‘alaihi/ yang disepakati: 
a. Al-qur’an 
b. As-Suunah/al-Hadits 
c. Al-Ijma’ 
d. Al-Qiyas. 

2) Mukhtalaf fih/yang masih dipertentangkan: 
a. Istihsan. 
b. Fatwa-fawa Shahabat 
c. Istishhab 
d. Al-urf/adat istiadat 
e. Maslahah mursalah 
f. Sadd al-dari’ah 
g. Hukum syara’ umat terdahulu 

3. Mahkum ‘Alaih/subyek hukum/mukallaf 
4. Mahkum fih/obyek hukum/perbuatan mukallaf 
5. Tujuan Syara’ 
a. Tazkiyah an-nafs/penyucian jiwa 
b. Penegakan keadilan 
c. Maslahah: 
1. Dharuriyyat/kebutuhan primer 
2. Hajiyyat/kebutuhan sekunder 
3. Tahsiniyyat/kebutuhan tersier 

G. MAHKUM FIH/OBYEK HUKUM 
Mahkum fih merupakan perbuatan mukallaf sebagai tepat menghubungkan dengan hukum syara’. Syarat-syarat mahkum fih adalah: 

1. Perbuatan itu diketahui secara sempurna oleh mukallaf sehingga suatu perintah dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, ayat-ayat al-Qur’an yang turun secara global, baru wajib setelah ada penjelasan dari Rasulullah SAW. 

2. Diketahui secara pasti oleh mukallaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang berwenang membuat perintah, yaitu Allah SWT dan Rasul-Nya. 

3. Perbuatan yang diperintah atau dilarang harus dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Perbuatan yang tidak terjangkau karena adanya masyaqqat terbagi menjadi dua macam, yaitu Masyaqqat yang tidak dapat ditanggulangi dan mampu direalisasaikan. Masyaqqat ini harus dilaksanakan, bila dilanggar akan dikenakan sanksi hukuman seperti melawan nafsu dan syahwat, serta . Masyaqat yang tidak dapat ditanggulangi dan tidak mampu direalisasikan kecuali dengan mengerahkan segala kemampuan. Masyaqqat ini jika dilaksanakan secara kontinyu akan menimbulkan korban jiwa atau harta. Masyaqqat ini boleh dibebankan akan tetapi tidak secara kontinyu serta tidak diwajibkan kepada semua orang seperti berperang memperjuangkan agama Allah SWT. 

Macam-macam hak: 
1. Hak Allah SWT seperti sanksi terhadap peminum khamr. 
2. Hak adami/manusia seperti nafkah keluarga. 
3. Hak-hak yang terkandung hak Allah dan hak manusia, tetapi hak Allah lebih unggul seperti pencurian. 
4. Hak-hak yang terkandung hak Allah dan hak manusia, tetapi hak manusia lebih unggul seperti qishash. 

Macam-macam kemapuan/ahliyah: 
1. Kemampuan dibebankan kewajiban; konsekuensinya orangnya harus ada dan keadaan hidup. Sedangkan syaratnya memiliki akal sehat dan kewajibannya tetap berlangsung. 
2. Kemampuan melakukan kewajiban: konsekuensinya orangnya harus dalam keadaan sadar. Sedangkan syaratnya adalah diperbolehkan menggunakan hartanya oleh syara’. 

Penghalang Kemampuan: 
1. Alami: 
a. Gila 
b. Idiot 
c. Lupa 
d. Tidur 
e. Epilepsi. 

2. Tidak alami/karena perbuatan: 
a. Tidak sempurna akalnya 
b. Mabuk 
c. Bodoh 
d. Keliru 
e. Terpaksa 


I. MAHKUM ‘ALAIH 
Syarat-syarat orang yang layak dibebani kewajiban hukum: 
1. Mampu memahami dalil-dalil hukum, baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain, minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari al-Qur’an atau hadits Rasulullah. Adanya kemapuan memahami hukum taklifi itu disebabkan adanya akal yang sempurna. 

2. Mempunyai ahliyat ada’: kecakapan untuk bertindak secara huku atau memikul beban taklif. Denga adanya kecakapan tersebut, seseorang disebut mukallaf. Artinya, segala perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam dan ia diperintahkan untuk melakukan segala perintah dan menjauhi larangan. Kecakapan seperti ini dimiliki seseorang secara sempurna bilamana ia baligh, berakal, dan bebas sedangkan yang menjadi bagi kecakapan tersebut seperti dalam keadaan gila, lupa, terpaksa, dan sebagainya. 

J. TUJUAN SYARIAH (al-Anbiya’:107) 
1. Tazkiyah an-Nafs/Penyucian jiwa ; 
2. Iqamah al-‘Adl/ menegakkan keadilan (al-Hujurat:13); 
3. Maslahah (al-Baqarah:256): 
a. Dharuriyyat: 
1. Menjaga agama 
2. Menjaga jiwa 
3. Menjaga akal 
4. Menjaga harta 
5. Menjaga keturunan 
b. Hajiyyat 
c. Tahsinat Kamaliyyah

Share this article :

Ditulis Oleh : Bidadari kecil

Artikel PENGANTAR USHUL FIQH ini diposting oleh Bidadari kecil pada hari Jumat, 31 Mei 2013. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.