2.1 Definisi Kaidah Fiqh 
Al-qawaid bentuk jamak dari kata Qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan). Secara bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi. baik dalam arti yang kongkrit maupun yang abstrak, seperti kata qawaid al-bait, artinya fondasi rumah, qawaid al-din, artinya dasar-dasar agama, qawaid al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti qawaid ini digunakan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 :

 وَإِذْ يرَفَعُ إِبْراَهِيْمَ القَواَعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْماَعِيْلُ 

Dan ingatlah ketika ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail”. (QS. Al-Baqarah : 127)

 فَأَتىَ اللهُ بُنْياَنَهُمْ مِنَ الْقَوَاعِدِ

Allah menghancurkan bangunan mereka dari fondasi-fondasinya…. ” (QS. An-Nahl: 26).

Dari kedua ayat tersebut, bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau fondasi, dan tempat yang di atasnya berdiri bangunan . Al- Qawaid al-fiqhiyqh ( kaidah-kaidah fikih) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih . 

Sementara itu, Para Ulama berbeda dalam mendefinisikan kaidah fiqih secara istilah. Ada yang meluaskannya ada yang mempersempitnya. Akan tetapi, substansinya tetap sama. Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah Mendefinisikan kaidah dengan : 

مَجْمُوْعُ الأَحْكاَمْ المُتَشَابِهاَتِ الَّتِي تَرْجِعُ إِلىَ قِياَسٍ وَاحِدٍ يَجْمَعُهاَ 
“kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya” .

Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fiqih dengan:

 قَضِيَةٌ كُلِّيَّةٌ مُنْطَبِقَةٌ عَلَى جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهاَ
“ketetapan yang kulli (menyeruruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya”.

Imam Tajjuddin al-Subki (w.771H) mendefinisikan kaidah dengan :

 اَلْأَمْرُ الْكُلِّيْ الَّذِيْ يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ جُزْ ئِيَّاتٌ كَثِيْرَةٌ يُفْهَمُ أَحْكَا مُهَا مِنْهَا 
“kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”. 

Ibnu Abidin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970H) dalam kitab al-asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :

مَعْرِفَةُ الْقَوَاعِدِ الَّتِي تُرَدُّإِلَيْهِ وَفَرَّعُوْا الأَحْكَام عَلَيْهَا 
“Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci daripadanya hukum” .

Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybah wa nazhair, mendefinisikan kaidah dengan:
حُكْمُ كُلِّيٌّ يَنْطَبِقُ عَلَي جُزْ ئِيَّاتِهِ 
“ Hukum kulli (menyeluruh,general) yang meliputi bagian-bagiannya” .

Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz ‘iyat nya (bagian-bagiannya). Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam kaidah: 
1. Kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari sumbernya. Al-Qur’an ataupun Al-Hadis. 
2. Kaidah-kaidah fiqh, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqh dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumya di dalam nash. 

Oleh karena itu, baik kaidah-kaidah ushul fiqh maupun kaidah-kaidah fiqh bisa disebut sebagai metodologi hukum Islam, hanya saja kaidah-kaidah ushulul fiqh sering digunakan di dalam takhrij al-ahkam yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-Qur’an dan Al-Hadis). Sedangkan kaidah-kaidah fiqh sering digunakan di dalam tathbiq al-ahkam yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia. 

Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci). Jadi, dari semua uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah : 
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.    

2.2 Pola Hubungan dan Dasar Perumusan Kaidah Fiqh

Kaidah fiqh adalah bagian dari ilmu fiqh. Ia memiliki hubungan erat dengan Al-Qur’an, Al-Hadis, akidah dan akhlak . Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah dikiritisi oleh ulama dan diuji serta diukur dengan banyak ayat dan hadis, terutama tentang kesesuaian dan substansinya. Apabila kaidah fiqh tadi bertentangan dengan banyak ayat Al-Qur’an atau pun Al-Hadis yang bersifat dalil kulli (general) maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan. Oleh karena itu, menggunakan kaidah-kaidah fiqh yang sudah mapan pada hakikatnya merujuk kepada Al-Qur’an dan Al-Hadis, setidaknya kepada semangat dan kearifan Al-Qur’an dan Al-Hadis juga. 

Dasar-dasar perumusan kaidah fiqh ini disebabkan karena para muhaqiqin telah mengembalikan segala masalah fiqh kepada kaidah-kaidah kulliyah. Tiap-tiap dari kaidah itu, menjadi dhabith dan pengumpul bagi banyak masalah . Kaidah-kaidah tersebut diterima segala pihak, diikhtibarkan dan dijadikan dalil untuk menetapkan masalah. Memahami kaidah-kaidah itu, menyebabkan kita merasa tertarik kepada masalah itu dan menjadi wasilah untuk menetapkan masalah-masalah itu di dalam zihin. 

2.3 Urgensi Kaidah Fiqh
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut : 
1. Dari sudut sumber, 
Kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai maqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan.
2. Dari segi istinbath al-ahkam, 
Kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.

Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya berkata bahwa nash-nash tasyrik telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang .

Karena cakupan dari  fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah. 

Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya. 

2.4 Sejarah Pertumbuhan Kaidah fiqh
Sejarah perkembangan dan penyusunan kaidah fiqih diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu : 
1 Fase Pertumbuhan dan Pembentukan 
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih. Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Dalam fase sejarah hukum islam, Periode ini dapat dibagi menjadi tiga zaman, yaitu :  

a. Zaman Nabi muhammad SAW 

Berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah. 


Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

b. Zaman Sahabat 
Sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka. 

c. Zaman Tabi’in dan Tabi’ tabi’in 

Berlangsung selama 250 tahun. Ulama-ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah sebagai berikut :

• Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182) 
Karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah : ”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal” Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apabila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris. 

•Imam Asy-Syafi’i, 
Pada fase kedua,  abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu ”Sesuatu yang dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa” 

•Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), 

Diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu : ”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan” 

2 Fase Perkembangan dan Kodifikasi
Dalam sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya. Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. 

3 Fase Kematangan dan Penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah “seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya” Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah : “seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin.   

2.5 Lima Kaidah Ushul Fiqih 
I. Kaidah Asasi Pertama 
اَلْأُمُوْرُ بِمَقاَصِدِهاَ 
Segala perkataan tergantung pada niat.

Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai pelaksanaannya.

 قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ أَوالْقَصْدُالْمُقَارِنُ لِلْفِعْلِ 
Di dalam sholat misalnya yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud didalam hati dan wajib niat disertai takbirat al-ihram . 

Di kalangan mahzab Hambali juga menyatakan bahwa tempat niat ada dalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini/beritikad di dalam hatinya, itu pun sudah cukup, dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram di dalam shalat, agar niat ikhlas menyertainya dalam ibadah. Dapat disimpulkan bahwa fungsi niat adalah : 
• Untuk membedakan antar ibadah dan adat kebiasaan. 
• Untuk membedakan kualitas perbuatan baik kebaikan maupun kejahatan. 
• Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.

Secara lebih mendalam lagi para fuqaha merinci masalah niat ini baik dalam ibadah mahdoh seperti thoharoh, wudhu, tayamum, mandi junub, sholat qhasar, sholat jama, sholat wajib, sholat sunnat, zakat, haji, saum atau pun didalah ibadah ghair mahdoh seperti pernikahan, thalaq, wakaf, jual beli, hibah, wasiat, sewa-menyewa, hutang piutang dan akad-akad lainnya. 

II. Kaidah Asasi Kedua
 الَيقِيْنُ لاَيُزَالُ بِاالشَّك 
Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan. 

Di dalam kaidah-kaidah fiqih banyak di bicarakan tentang hal yang berhubungan dengan keyakinan dan kerguan misalnya orang yang sudah yakin suci dari hadast kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum? Maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk kehati-hatian yang lebih utama adalah memperbaharui wudhunya. Dari kaidah asasi tersebut kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya. 

 أ‌. الَيقِيْنُ لاَيُزَالُ بِالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ 
Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula 

Contohnya kita yakin sudah berwudhu tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal. 

 ب‌. أَنَّ ماَ ثَبَتَ بِيَقِنٍ لاَيُرْتَفَعُ إِلاَّبِيَقِيْنٍ 
Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi. 

Contohnya thowaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu dengan tujuh putaran kemudian dalam keadaan thowaf seseorang ragu apakah yang dilakukannya puteran ke enam atau kelima. Maka yang menyakinkan adalah jumlah kelima, karena putaran yang kelima adalah yang menyakinkan.

 ت‌. اَلأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِمَّةِ 
Hukum asal adalah bebasnya seorang dari tanggung jawab 

Contohnya anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai adanya waktu balig. Makan dan minum asalnya di bolehkan sampai adanya dalil yang melarang makan-makanan dam minum-minuman yang di haramkan.

 ث‌. الأَصْلُ بَقَاءُمَاكَانَ عَلَى مَا كَانَ مَالَمْ يَكُنْ مَا يُغَيِّرُهُ 
Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal yang mengubahnya. 

Contohnya manusia bebas lagi dari tanggung jawab karna adanya kematian. Kewajiban suami istri hilang lagi karna ada talaq.

 ج‌. الأَصْلُ فِي الصِفَاتِ العَارِضَةِ العَدَمُ 
Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adah tidak ada . 

Contohnya apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib baarah yang dijual belikan, maka yang dianggap adalah perkataan sipenjual. Karena pada asalnya cacat itu tidak ada.

 ح‌. الأَصْلُ فِي كُلِّ حاَدِثٍ تَقْدِيْرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ 
Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya . 

Contohnya seorang wanita yang sedang mengandung ada yang memukul perutnya kemudian keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan sehat. Selang beberapa bulan, bayi itu meninggal. Maka meninggalnya si bayi tidak disandarkan kepada pemukulan yang terjadi kepada waktu yang telah lama tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waktu yang paling dekat kepada kematiaannya.

 خ‌. الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِباَحَةُحَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَحْرِيْمِ 
hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya. 

Contohnya apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya maka hukumnya boleh dimakan. 

 د‌. الأَصْلُ فِي الكَلاَمِ الحَقِيْقَةُ 
Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti sebenarnya. 

Contohnya apabila seseorang berkata : “saya mau mewakakan harta saya kepada anak kiyai Ahmad maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula cucu.

 ذ‌. لَا عِبْرَةَ بِالظَنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَا ءُهُ 
Tidak dianggap(diakui) persangkaan yang jelas salahnya. 

Contohnya apabila seorag debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor membayar lagi hutang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitor maka waikil debitor berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya karena pembayaranya dilakukan atas dasar persangkaan yang jelas salahnya yaitu menyangka bahwa utang belum dibayar oleh debitor. 

III. Kaidah Asasi Ketiga
 المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ 
Kesulitan mendatangkan kemudahan.

Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukhalaf, maka syariah meringankannya. Sehingga mukhalaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran. Dari kaidah tersebut dimunculkan kaidah-kaidah lain seperti:

 أ‌. إِّذَا ضَاقَ الأَ مْرُ إِتَّسَعَ 
Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas. 

Contohnya boleh berbuka puasa pada bulan ramadhan karna sakit atau berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.

 ب‌. إِذَاتَعَذّ رَ الأَصْلُ يُصاَ رُ إِلَى البَدَلِ 
Apabila yang asli suka dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya. 

Contohnya tayamum sebagai pengganti wudhu. 

ت‌. مَالاَيُمْكِنْ التَحْرُزْ مِنْهُ مَعْفُو عَنْهُ 
Apa yang tidak mungkin menjaganya atau menghindarkannya maka hal itu dimaafkan. 

Contohnya pada waktu sedang saum kita berkumur-kumur maka tidak mungkin terhindar dari rasa air dimulut atau masih ada sisa-sisa. Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan, misalnya orang yang berpergian dengan tujuan melakukan maksiat. misalnya, membunuh maka orang semacam ini tidak boleh meggunakan keringanan di dalam hukum islam.

 ث‌. إِذَاتَعَذّ رَتْ الحَقِيْقَةُ يُصَارُ إلَى المَجَازِ 
Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya. 

Contohnya seseorang berkata saya wakafkan tanah saya ini kepada anak kiyai Ahmad. Padahal semua tahu bahwa anak kiayi tersebut sudah lama meninggal, maka yang ada hanyalah cucunya. maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya bukan kata sesungguhnya sebab tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang yang sudah meninggal.

 ج‌. إِذَاتَعَذّ رَ إِعْمَالُ الكَلاَمِ يُهْمَلُ 
Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan maka perkataan tersebut ditinggalkan. 

Contohnya apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya. Maka, Perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya. 

 ح‌. يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي الإِبْتِدَءِ 
Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya.

Contohnya orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbaharui sewaannya dalam arti melanjutkan sewaannya maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.
 خ‌. يُغْتَفَرُ فِي الإِبْتِدَءِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ 
Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya 

Contohnya seseorang yang baru masuk islam minum-minuman keras karena kebiasaanya sebelum masuk islam dan tidak tahu bahwa minum-minuman tersebut dilarang. Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidak tahuannya. Selanjutnya setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah haram maka dia harus menghentikan perbuatan tersebut.

 د‌. يُغْتَفَرُ فِي التَوَابِعِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا 
Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada hal yang lainnya. 

Contohnya penjual boleh menjualkembali karung bekas tempat beras karana karunag mengikuti kepada beras yang dijual. 

IV. Kaidah Asasi Keempat
 الضَرَرُيُزَالُ 
Kemadharatan harus dihilangkan.  

Contohnya larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemadharatan bagi rakyat. Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari kaidah di atas diantaranya:

أ‌. الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَخْظُورَاتِ 
kemadharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.

Contohnya boleh mengkap dan menghukum pelaku pornografi dan pornoaksi untuk menyelamatkan keturunan.

 ب‌. الضَرُوْرَاتُ تُقَدِّرُبِقَدَرِهَا 
Keadaan darurat, ukurannya ditentukan kadar kedaruratannya. 

Contohnya seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang diobatinya sekedar yang diperlukan untuk pengobatan, itu pun apabila tidak ada dokter wanita.

 ت‌. الضَرَرُيُزَالُ بِقَدَرِ الإِمْكَانِ 
Kemadharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan. 

Contohnya usaha kebijakan dalam ekonomi agar rakyat tidak kelaparan.

. ث‌. الضَرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَرَرِ 
Kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan lagi. 

Contohnya orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga sedang kelaparan.
 ج‌. يُحْتَمَلُ الضَرَرُ الخَاصِ لِأَجْلِ الضَرَرِ العَامِ 
Kemadharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemadharatan yang bersifat umum.

Contohnya boleh melarang tindakan hukum seseorang yang membahayakan kepentingan umum, misalnya mempailitkan suatu perusahaan demi menyelamatkan para nasabah.

 ح‌. الضَرَرُ الأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَرَرِ الأَخَفُّ 
Kemadharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih ringan.

Contohnya apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama, mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis dan ilmu yang berdasarkan agama kecuali di gaji, maka boleh menggajinya.

 خ‌. الحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَرُورَةِعَامَةً كَانَ أَوْ خَاصَةً 
Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus 

Contohnya dalam jual beli, objek yang di jual telah wujud. Akan tetapi, demi untuk kelancaran transaksi, boleh menjual barang yang belum berwujud asal sifat-sifatnya atau contohnya telah ada.

 د‌. كُلُّ رُخْصَةٍ أَبِيْحَتْ للضَرُورَةِوَالحَاجَةِ لَمْ تُسْتَبَحْ قَبْلَ وُجُودِهَا 
Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah, tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah. 

Contohnya memakan makanan yang haram, baru dilaksanakan setelah terjadinya kondisi darurat. Misalnya tidak ada makanan lain yang halal.

 ذ‌. كُلُّ تَصَرُّ فٍ جَرَّ فَسَادًا أَودَفْعَ صَلاَحًامَنهِي عَنْهُ 
Setiap tindakan yang membawa kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang. 

Contohnya menghambur-hamburkan harta atau boros tanpa ada manfaatnya.

V. Kaidah Asasi Kelima
 العَادَةمُحَكَّمَةُ 
Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum 

Contohnya sebelum Nabi Muhammad di utus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik di dunia arab maupun di bagian lain termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan tersebut di bangun atas dasar nilai-nilai yang di anggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut. Diantara cabang dari kaidah ini adalah:

 أ‌. إِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا 
Apa yang di perbuat orang banyak adalah alasan/argumen yang wajib diamalkan. 

Contohnya menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menajhitkan adalah tukang jahit.

 ب‌. إِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ إذَااضْطَرَدَتْ أوْغَلَبَتْ 
Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum. 

Contohnya apabila seseorang berlangganan majalah, maka majalah itu diantar ke rumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalah, maka ia bisa komplain dan menuntut kepada agen majalah tersebut. 

 ت‌. العِبْرَةُ لِلْغَالِبِ الشَّائِعِ لاَللِنَا دِرِ 
Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang terkenal oleh manusia bukan dengan jarang terjadi. 

Contohnya para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang tidak akan melebihi satu tahun.

 ث‌. المَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالمشْرُوْطِ شَرْطًا 
Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang di syaratkan suatu syarat. 

Contohnya apabila orang bergotong- royong membangun rumah yatim piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan orang-orang yang bergotong royong itu tidak di bayar. 

ج‌. المَعْرُوْفُ بَيْنَ التُّجَارِ كَالمشْرُوْطِ بَيْنَهُم 
Sesuatu yang tidak dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara mereka.

 ح‌. التَعْيِينُ بِالمَعْرُوْفُ كَا التَعْيِينِ بِالنَّص 
Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash 

Contohnya apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut. Maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk kecuali dengan izin orang yang menyewakan.

 خ‌. المُمْتَنَعُ عَادَةًكَا المُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً 
Sesuatu yang tidak berlaku berdasarka adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan.

Contohnya seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain adalah miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjelaskan darimana asal harta tersebut.

 د‌. الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلالَةِ العَادَةِ 
Arti hakiki di tinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat. 

Contohnya yang disebut jual beli adalah penyerahan uang dan penerimaan barang oleh si pembeli serta sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi apabila si pembeli sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli itu telah terjadi. Dan penjual tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga barang naik.

 ذ‌. الإِذَنُ العُرْفِى كَالإِذْنِ اللَفْطِى 
Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapaan.   

DAFTAR PUSTAKA 
A.Rahman, Asymuni. Qaidah-Qaidah Fiqh. cet. 1. Jakarta: Bulan bintang. 1976. 
Abd Al-Wahab bin Ali bin Abd Al-kafi Al-Subki, Al-Imam Tajuddin. juz 1. Al-Asybah wa Al-Nazhair. Beirut: Dar Al-kutub al-Islamiyah. 
Abu Zahrah, Muhammad. Ushulul Fiqh.Dar Al-Fikir Al-Arabi. 
Al-Jurjuni. Kitab Al-Ta’rifat. Dar Al-kutub Al-ilmiyah. 1430 H/1983 M. 
Al-Nadw, Ali Ahmad. Al-Qawaid Al-Fiqhiyah. cet .V. Beirut: Dar al-Qalam.1420H/2000M. 
Al-Syirazi, Abu Ishak. al-Muhadzabah. juz 1. Dar el-Fikr. 
Hasbi Ash-shiddqy, Teungku Muhammad. Pengantar Hukum Islam. cet 1. Semarang: PT. Pustaka Rizki putra. 1997 M. 
Ibnu Nuzaim. Al-Asybah wa al-Nazhair. cet 1. Damaskus: Dar Al-fikr. 1430H/1983M. 
Jalaluddin Abd al-Rahman, Al-Suyuthi. a-Asybah wa al-Nazhair fi Qawaid wa furu’ Fiqh al-Syafi’i. cet 1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1399 H/1979 M. 
Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqh kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah praktis. Cet 1. Jakarta: Kencana. 2006. 
http://moenawar.multiply.com/journal/item/10 ( 28 Maret 2010)

Share this article :

Ditulis Oleh : Bidadari kecil

Artikel Kaidah-Kaidah Fiqh ini diposting oleh Bidadari kecil pada hari Jumat, 24 Mei 2013. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.