BAB I PENDAHULUAN


1.1 LATAR BELAKANG
Ijma merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun para cendikiawan agama. Perbedaan konseptual antara Sunnah dan Ijma` terletak pada kenyataan Sunnah pada pokoknya terbatas pada ajaran-ajaran Nabi dan diperluas kepada para sahabat karena merupakan sumber bagi penyampaiannya, sedangkan Ijma` adalah suatu prinsip isi hukum baru yang timbul sebagai akibat dalam melakukan penalaran dan logikanya menghadapi suatu masyarakat yang meluas dengan cepat, seperti halnya masyarakat islami dini, yang bermula dengan para sahabat dan diperluas kepada generasi-generasi berikutnya.

Karena itu, tampaknya Ijma` merupakan faktor yang paling ampuh dalam memecahkan kepercayaan dan praktik rumit kaum muslimin. Pada suatu masa tertentu Ijma` memiliki kesahihan dan daya fungsional tertinggi. Jika keputusannya paling menentukan, hal itu hanya menentukan dalam arti nisbi, karena ijma` mempunyai potensi berasimilasi, mengubah dan menolak menurut persyaratan kehidupan modern. Walaupun pengaruh Ijma` bersifat mempersatukan, namun sebenarnya tetap masih ada perbedaan pendapat tentang suatu persoalan kecil yang tidak disepakati.

I.2 RUMUSAN MASALAH
Pada uraian latar belakang di atas dapat dikemukakan beberapa masalah yang menjadi objek permasalah yang akan di bahas pada makalah ini. 
1. Apakah yang dimaksud dengan Ijma`? 
2. Sebutkan macam-macam Ijma`? 
3. Perbedaan pendapat para ulama tentang Ijma`? 
4. Apakah landasan syariat tentang Ijma`? 

I.3 TUJUAN PEMBAHASAN
Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah: 
1. Agar para pembaca memahami dengan jelas tentang Ijma` dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. 
2. Agar pembaca mengetahui landasan syariat tentang Ijma`. 
3. Agar pembaca mengetahui tentang perbedaan pendapat tentang Ijma`. 
4. Agar pembaca sebab-sebab dilakukannya Ijma` 


BAB II PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Menurut bahasa (الِإجْمَاعُ) artinya sepakat, setuju atau sependapat. Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) seperti: (أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى كَذَا) kaum muslimin bersepakat tentang sesuatu. 
Sebagaimana Firman Allah dalam Al-qur`an surat Yusuf 

Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi." 

Sedang menurut istilah adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad sesudah wafatnya beliau pada suatu masa tentang suatu perkara (hukum).
 اتِّفَاقُ مُجْتَهِدِيْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ وَفَاتِهِ فِيْ عَصْرِ مِنَ العُصُوْرِ عَلَى أَمْرٍ مِنَ الأُمُوْرِ 
Artinya: "kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula". (lihat Irsyadul Fuhul: 71).

Dapat disimpulkan Ijma` ialah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa wafatnya Rasulullah SAW, terhadap hukum Syara` yang bersifat praktis (`amaly). Para ulama telah bersepakat, bahwa ijma` dapat dijadikan argumentasi (hujjah) untuk menetapkan hukum syara` , tetapi mereka berbeda pandapat dalam menentukan siapakah ulama mujtahidin yang berhak menetapkan Ijma' . 

Madzhab Syia`h berpendapat, bahwa Ijma` yang dapat dijadikan argumentasi (hujjah) , adalah ijma` para imam dan mujtahid yang mengikuti madzhab Syi`a. Sementara itu menurut pendapat Jumhur, Ijma` yang dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan hukum Syara` adalah Ijma` para ulama Jumhur. 

Imam Syafi`i membagi hukum yang bersumber dari dalil-dalil syara` menjadi dua yaitu: 
1. Hukum Zhahir dan batin: Hukum-hukum syara` yang bersumber dari nash yang mutawatir, baik Al-qur`an maupun hadist mutawatir. 

2. Hukum Zhahir, yaitu hukum-hukum syara` yang ditetapkan berdasarkan dalil hadist ahad, ijma` atau qiyas, yang semua itu tidak disepakati oleh para ulama

2.1.1 Unsur-Unsur Ijma’ 
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa ijma’ mengandung beberapa unsur sebagai berikut 
 a. Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat islam(ulama) 
Apabila ada ulama yang menolak kesepakatan tersebut, maka kesepakatan yang lainnnya tidak dapat disebut ijma’. Berdasrkan unsur yang pertama ini dapat pula diketahui ulama yang melakukan kesepakatan tersebut harus dari seluruh ulama yang ada tanpa pembatasan wilayah atau negara, dan atau golongan tertentu. Dengan kata lain, dari seluruh dunia. Karena itu, jika ada ulama dari golongan atau negara tertentu yang tidak sepakat, maka ijma’ tidak terwujud. 

b. Suatu kesepakatan yang dilakukan haruslah dinyatakan secara jelas. Berdasarkan unsur ini, jika ada ulama mujtahid yang diam-diam berbeda pendapat dengan para ulama mujtahid lainnya, ijma’ juga tidak terwujud.

c. Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid. Berdasarkan unsur ini, maka yang melakukan kesepakatan tersebut bukanlah sembarang ulama, tapi adalah mereka yang telah memenuhi syarat sebagai mujtahid, meskipun pada taingkatan yang terendah sekalipun . 

d. Kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya Rasululllah. Agaknya unsur ini perlu ditegaskan adalam definisi karena pada masa hidupnya Rasululllah, pemegang otoritas keagamaan, sehingga tidak diperlukan adanya ijma’ dalam bidang keagamaan semua persoalan dirujukkan kepada beliau baik melalui wahyu matluw maupun wahyu ghair matluw.

e. Yang disepakati itu adalah hukum syara mengenai suatu masalah atau peristiwa hukum tertentu 

2.2 TAHAP PERKEMBANGAN IJMA` 
Sejak periode sahabat hingga masa imam-imam mujtahid, pemikiran ijma` telah berkembang melalui 3 periode sebagai berikut ; 
1. Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi. Khalifah Umar ibnu Khattab R.A. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dalam menetapkan hukumnya beberapa masalah yang mereka hadapi. Jika mereka telah bersepakat pada suatu hukum, maka dia menjalankan pemerintahannya berdasarkan hukum yang telah disepakati. 

2. Pada masa Ijtihad, para imam mujtahid berusaha agar pendapatnya agar pendapatnya tidak menyimpang dari apa yang telah ditetapkan oleh para fuqaha di negerinya, sehinnga imam mujtahid tersebut tidak dianggap menyimpang pola berpikirnya. 

3. Para fuqaha berusaha keras untuk mengetahui Ijma`dari sahabat untuk di ikuti, agar mereka tidak menyimpang dari hukum-hukum yang telah disepakati oleh para sahabat. 

2.3 SEBAB-SEBAB DILAKUKANNYA IJMA` 
Diantara sebab-sebab dilakukannya ijma` adalah sebagai berikut. 
1. Adanya masalah-masalah hukum yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-quran dan As-Sunnah (dalil qat`i), sedang masalah tersebut memerlukan kejelasan hukumnya, sehinnga para mujtahid, baik langsung maupun tidak langsung , memutuskannya secara bersama-sama. 

2. Dalam menyelesaikan masalah tertentu, para mujtahid pada masa tertentu, relatif mudah untuk melakukan koordinasi dan komunikasi. 

3. Masalah yang timbul adalah masalah amaliah yang tidak menimbulkan perbedaan dan perpecahan, sehimgga jika terjadi di antara mereka relatif mudah untuk dipersatukan. 

Imam Syafi`i cenderung menolak kemungkinan terjadinya Ijma` dengan alasan-alasan sebagai berikut : 
1. Para fuqaha berdomisili di berbagai tempat yang saling berjauhan, sehingga mereka tidak mungkin dapat bertemu.

2. Terjadinya perbedaan pendapat di antara para fuqaha yang tersebar di berbagai daerah di seluruh negara-negara islam. 

3. Tidak adanya kesepakatan para ulama tentang kriteria ulama yang berhak untuk berpendapat dalam masalah-masalah fiqh. 

2.4 CONTOH IJMA
Hukum Syara` yang telah mencapai Ijma`( kesepakatan ulama ) cukup banyak diantaranya sebagai berikut. 
1. Masalah jual beli yang belum bisa diserahkan pada waktu transaksi (ba`iul mu`atah), para ulama sepakat atas sahnya jual beli semacam ini meski tanpa adanya dalil yang menjadi landasannya. 

2. Masalah keharaman menikahi ibu mertua, ibu tiri, nenek. Kesepakatan ulama atas masalah ini di dasarkan pada Al-Quran Surah An-Nisa ayat 23

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 

Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. 

3. Masalah hukum nenek yang mendapatkan warisan 1/6 dari harta warisan. Hal ini berdasarkan hadis yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW memberi warisan hak warisan nenek sebanyak 1/6. 

2.4.1. Hukum Menyalahi Ijma’ 
Hukum bagi orang yang tidak mengakui atau menyalahi Ijma' sebagai sebuah dalil terbagi dalam dua (2) golongan: 

• Orang yang mengingkari kehujjahan (dalil) Ijma'. Sebagian ulama' menganggap orang ini kafir. Pengarang Kasyful Asyror berkata: barang siapa yang mengingkari Ijma', maka berarti ia membatalkan seluruh agamanya. 

Akan tetapi sabagaimana telah dimaklumi bahwa Ushuluddin dan poros utamanya adalah pada Al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan dilalah (dalil) nya menurut kebanyakan para ulama' atas dasar Ijma', baik dzonni maupun qoth'i, karena hal tersebut bukanlah sesuatu yang disepakati. Untuk itu orang yang mengingkari dalil Ijma' tidak dianggap kafir, akan tetapi hanya dianggap pelaku bid'ah atau fasiq.

• Orang yang menyalahi suatu hukum yang ditetapkan atas dasar Ijma'. Hal ini memiliki tiga tingkatan: 
1) Hukum yang telah diketahui secara pasti dalam agama. Semuanya telah menjadi Ijma' baik bagi orang awam maupun orang khusus (ulama'), seperti keesaan Alloh swt, Rububiyah-Nya. Alloh satu-satunya yang berhak diibadahi, kenabian Muhammad saw sebagai penutup para Rosul. Nash-nash yang menunjukkan terjadinya hari qiyamat, hari pembalasan, hari kebangkitan, hari perhitungan, jannah dan neraka, ushul-ushul syari'at dan ibadat seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Maka, tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengingkarinya adalah kufur. 

2) Hukum yang ditetapkan oleh Ijma' qoth'y, seprti haramnya mengawinkan seorang gadis dan bibinya sekaligus, haramnya berdusta kepada Rosululloh saw dan lain-lain. Maka orang yang mengingkarinya juga kufur. Karena, ia mengingkari hukum syar'i yang ditetapkan oleh dalil qoth'i 

3) Hukum yang ditetapkan oleh Ijma' dzonni (seperti Ijma' Sukuti), maka orang yang mengingkarinya dianggap fasiq, ahlul bid'ah dan dia tidak kufur 

2.5 SYARAT-SYARAT IJMA’
Dari definisi ijma` dapat diketahui bahwa Ijma` itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria dibawah ini 
• Yang bersepakat adalah para mujtahid Para ulama berselisih faham tentang istilah mujtahid, secara umum, mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil syara`. 

Seseorang ahli ijtihad dan mujtahid mestilah mempunyai syarat berikut : 
1. Islam dan bersikap adil 
2. Mengetahui tentang al Quran berserta makna-maknanya dari sudut bahasa dan syariat 
3. Mengetahui hadith beserta makna-maknanya dari sudut bahasa dan syariat 
4. Mampu mengetahui tentang masalah-masalah ijmak serta tempat-tempat berlaku ijmak. Hal tersebut supaya mereka tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengannya. 
5. Mengetahui al Qiyas - iaitu merangkumi tentang Illah, hikmat, kemaslahatan masyarakat serta uruf. 
6. Mengetahui dan memahami bahasa Arab dengan baik dan sempurna. Hal ini supaya dapat mentafsirkan al Quran dan Hadith dengan baik serta dalam istinbat hukum. 
7. Mengetahui tentang nasikh mansukh daripada al Quran dan hadith 
8. Mengetahui ilmu usul fiqh, Kerana ia merupakan asas dalam berijtihad dan istinbath hukum 
9. Mempunyai kefahaman yang baik dan benar, supaya mampu untuk membezakan pendapat yang benar dan pendapat yang salah. Iaitu mempunyai kecerdikan serta kemahiran dalam ilmu pengetahuan yang mendalam 
10. Baligh iaitu cukup umur dan sempurna akal pemikiran 
11. Mengetahui tentang dalil akal serta kehujahannya 
12. Mengetahui nas dan dalil yang berkaitan dengan hukum hakam sekurang-kurangnya, biarpun tidak menghafaznya. 
13. Mengetahui tentang sebab nuzul ayat serta sebab datang hadith atau asbab Wurud Hadith serta syarat hadith Mutawattir dan Ahad. 

Maka apabila dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai derajat mujtahid, tidak akan terjadi ijma`. Suatu kesepakatan bisa dikatakan ijma` bila dilakukan oleh tiga orang atau lebih. 
• Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid 
Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma` itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma` , termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. 
Sebagian ulama yang lain berpandangan bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu adalah Hujjah, meskipun tidak dikategorikan sebagai ijma` . Karena kesepakatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan terhadap dalil sahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum. Dan jarang terjadi, kelompok kecil yang tidak sepakat, dapat mengalahkan kelompok besar. 

• Para Mujtahid harus umat Muhammad SAW. 
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. Tidak bisa dikatakan ijma`. Hal ini menunjukkan adanya umat para Nabi yang lain yang ber-ijma` . Adapun ijma` umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin ber-ijma` untuk melakukan suatu kesalahan. 

• Dilakukan setelah wafatnya Nabi Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik adna itu dianggap sebagai syariah. 

• Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari`at Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.

 2.6 KEHUJJAHAN IJMA` 
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma` dapat dijadikan argumentasi (hujjah) berdasarkan dua dalil berikut; 
1. Hadist-hadist yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak akan bersepakat terhadap kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka menurut Allah juga baik.
 أُ مَّتِي لاَ تَجْتَمِع عَلَى ضَلاَ لَةٍ 
 Umatku tidak akan bersepakat atas sesuatu kesesatan ( Hr. Tirmidzi) 

2. Firman Allah dalam surat An-Nisa` 
Mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. 

2.7 TINGKATAN IJMA’
1. Ijma’ Sharih
Ijma sharih adalah kesepakatan pendapat para mujtahid, dimana kesepakatan tersebut dinyatakan dalam bentuk pernyataan lisan atau perbuatan, mengenai hukum suatu masalah tertentu. Ijma’ ini dapat terjadi dengan cara berkumpulnya seluruh ulama mujtahid dalam suatu tempat, kemudian masing-masing mereka menyatakan pendapat mengenai suatu masalah tertentu, dimana pendapat mereka itu ternyata sama. 

2. Ijma’ sukuti 
Ijma’ sukuti ialah adanya sebagian ulama yang menyatakan pendapat mereka mengenai suatu masalah tertentu dan pada waktu tertentu pula, sementara sebagian ulama lainnya, setelah mengetahui pendapat ulama tersebut, mengambil sikap diam dan tidak menyatakan penolakan terhadap pendapat tersebut. 

Para ulama sepakat bahwa bentuk ijma’ yang pertama, yaitu ijma’ sharih sebagai ijma dan merupakan hujjah. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai ijma’ sukuti. Madzhab syafi’i, Isa bin aban dan Malikiyyah berpendapat, ijma’ sikuti bukanlah ijma’ yang tidak dapat menjadi hujjah. Sementara mayoritas ulama Hanafiyyah dan imam Ahmad bin hanbal berpendapat ijma’ sukuti merupakan ijma’ dan menjadi hujjah. 

Dalam pada itu, untuk menerima ijma’ sukuti sebagai ijma’ yang menjadi hujjah, Hanafiyyah dan Malikiyyah mengemukakan lima syarat sebagai berikut: 
a. Diamnya para ulama itu tidak diiringi dengan tanda-tanda setuju atau tidak setuju 
b. Pendapat yang berkaitan dengan masalah yang menjadi objek ijma’ tersebar sedemikian rupa, sehingga diketahui oleh semua ulama mujtahid 
c. Terdapat waktu yang cukup bagi ulama yang diam itu untuk melakukan penelitian dan pembahasan terhadap masalah tersebut 
d. Masalah yang menjadi objek ijma’ adalah masalah yang bersifat ijtihadiyyah. 
e. Tidak terdapat halangan atau tekanan dan ancaman bagi mereka yang diam untuk menyatakan pendapat mereka secara bebas. 

2.8 MACAM-MACAM IJMA’ 
1. Ijma’ ahl al-madinah 
Pendapat ini dikemukakan oleh imam malik. Menurutnya ijma’ ahlul madinah merupakan hujjah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh kalangan sahabat atau tabiin yang berada di Madinah. Apabila kesepakatan yang dilakukan setelah masa dua generasi tersebut, maka ia tidak lagi menjadi hujjah. 

2. Ijma’ ahl al-haramain 
Sebagian ulama ushul berpendapat, kesepakatan masyarakat dari kedua wilayah mekkah dan madinah merupakan hujjah. Pendapat ini berangkat dari keyakinan bahwa ijma’ terbentuk hanya pada masa sahabat, sementara mekkah dan madinah adalah dua wilayah yang banyak didiami para sahabat, maka kesepakatan yang alhir dari kedua wilayah tersebut tentu juga menjadi hujjah. 

3. Ijma’ ahl al-Mishrain 
Sebagian ulama ushul berpendapat, kesepakatan masyarakat dari kedua wilayah kufah dan basrah merupakan hujjah. 

4. Ijma’ asy-syaikhan Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama, berdasarkan hadits nabi 
 عَنْ حَذَيْفَةَ آَ نَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَا لَ إِ قْتَدُوْا بِا للَّذَ يْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَ عُمَرَ 
” Dari Huzaifah bahwa Rasulullah bersabda turutilah dua orang setelah (wafat)- ku; Abu Bakar dan Umar” 

 5. Ijma’ al-Khulafa’ al-arba’ah/al-khulafa’ ar-rasyidin 
Pendapat ini dikemukakan oleh ulama hanafiyyah yang bernama al-Qadhi abi hazim, dan menurut satu riwayat, juga oleh ahmad bin hanbal. Mereka berpendapat kesepakatan di antara khalifah yang empat; Abu Bakar, Umar bin khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, merupakan hujjah. 

6 Ijma’ al-itrah Pendapat ini dikemukakan oleh golongan syi’ah al-imamiyah dan az-zaidiyah. Mereka mengatakan kesepakatan keluarga Nabi merupakan hujjah. 

2.9 SANDARAN IJMA’ 
Para ulama bersepakat bahwa yang dijadikan landasan oleh ijma’ hanyalah Al-Qur’an dan Sunnah. Semntara itu untuk qiyas masih terdapat perbedaan pendapat. Dalam hal ini para fuqaha terbagi menjadi tiga pendapat: 

1. Qiyas tidak dapat dijadikan landasan bagi ijma’, karena qiyas mempunyai beberapa segi yang bermacam-macam. Di segi lain kehujjahan qiyas bukanlah sesuatu yang disepakati, sehingga tidak mungkin qiyas dapat dijadikan landasan bagi ijma’. 

2. Qiyas dengan segala bentuknya dapat dijadikan sandaran ijma’, karen a qiyas adalah hujjah syar’iyyah yang didasarkan pada dalil-dalil nash. 

3. Apabila illat suatu qiyas disebutkan dalam nash atau sudah jelas sehingga tidak memerlukan pembahasan yang mendalam yang dapat menimbulkan perbedaan persepsi, maka qiyas dapat dijadikan landasan oleh ijma’. Sebaliknya jika illat suatu qiyas tidak jelas atau tidak disebutkan dalam nash, maka qiyas tersebut tidak dapat dijadikan landasan ijma’. 

2.10 MENASAKH IJMA’ 
Nasakh hukum syara’ hanyalah terjadi pada hukum-hukum syara’ yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil nash (Al-Qur’an dan Sunnah). Karena nasakh hanya terdapart pada masa Rasulullah, sesudah itu tidak ada lagi. Oleh karena itu, nasakh tidak terjadi pada hukum-hukum syara’ yang ditetapkan berdasarkan ra’yu meskipun ra’yu tersebut terikat oleh dalil-dalil nash. 

Sebagian fuqaha berpendapat, bahwa para mujtahid yang hidup pada masa terjadinya ijma’ tentang suatu hukum diperbolehkan merubah ijma’ yang satu menjadi ijma’ yang lain. Akan tetapi, jumhur ulama tidak membenarkan terjadinya ijma’ baru terhadap suatu hukum yang telah ditetapkan oleh ijma’ terdahulu, karena hal itu menimbulkan penyimpangan terhadap ijma’ yang pertama. Padahal ijma’ yang pertama merupakan hujjah yang tidak boleh diperselisihkan, apalagi membentuk ijma’ baru yang bertentangan dengan ijma’ pertama. 

2.11 TERJADINYA IJMA’
Para fuqaha tidak bersepakat tentang terjadinya ijma’ kecuali ijma’ para sahabat karena ijma’ para sahabat terdapat hukum-hukum syara’ telah ditetapkan secara mutawatir sehingga tidak ada seorangpun yang menolaknya, termasuk orang yang mengangggap tidak mungkin terjadinya ijma’. 

Imam Fahrur Razi dan mayoritas fuqaha berkata ijma’ yang diriwayatkan perseorangan tidak dapat dijadikan hujjah. Sebagai alasan, faktor yang menyebabkan ijma’ dijadikan hujjah adalah terletak oada sifatnya yang qath’i yaitu bahwa ijma’ tersebut disandarkan pada para ulama yang membentuknya. Sebagian tokoh ushul fiqh berpendapat, bahwa ijma’ boleh diriwayatkan perseorangan, kaeena selain ijma’ shabat tidak ada satupun ijma’ yang diriwsayatkan secara mutawatir.   

BAB III PENUTUP 

3.1 KESIMPULAN 
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Untuk memiliki Ijma’ , kita tidak perlu menekankan pembenaran yang bersifat otoriter. Namun otoritas atau pembuktian bagi pendapat-pendapat yang membentuk ijma’ boleh dijadikan kemungkinan seperti Qiyas. Suatu masyarakat muslim yang igin tetap mengikuti dunia modern harus memberikan arti yang layak kepada Ijma’ sebagai sumber hukum islam dan yurisprudensi . Karena membantu kita memperoleh seperangkat asas-asas atau kitab undang-undang tingkah laku yang menjalankan Ijtihad. Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya. Kita menemukan pembenaran terhadap Ijma’ sebagai sumber dinamik baik dalam Al-Quran maupun Sunnah. Dalam Al-Quran dinyatakan dalam surat Al-Baqarah ayat 143 

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. 

3.2 SARAN
Demikianlah makalah yang kami buat dan kami berharap dengan adanya makalah ini kami dapat berbagi ilmu dan mengingatkan kembali tentang betapa pentingnya Ijma’ harus diterapkan dalam kehidupan kita. Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber Islam (ijma’) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat) adil dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dan konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.   

DAFTAR PUSTAKA 
Abu Zahrah , Muhammad. 1994. Ushul Fiqh . Jakarta: Pustaka Firdaus. 
Mannan. 1992 , Ekonomi Islam : Teori dan Praktek . Potan Arif Harahap, penerjemah. Jakarta : PT Intermasa. 
Dahlan, Rahman. 2010. Ushul Fiqh . Jakarta : Amzah. 
 Muslim, Muhammad. 2007. Fiqih 3 . Jakarta : Yudhistira

Share this article :

Ditulis Oleh : Bidadari kecil

Artikel IJMA' ini diposting oleh Bidadari kecil pada hari Kamis, 11 Juli 2013. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.